HIDUPNYA, Sampah !


Terik matahari terasa panas dan merayapi kulitku. Kaos panjang, cardigan panjang , celana panjang, bahkan kerudung coklat telah menutupi semua badanku. Hanya wajah dan telapak tangan yang terlihat saat panas ini menyengat. Bahkan kebiasaanku menggunakan kaus kaki nyatanya  tak cukup melindungi rasa matahari yang masih menggerayangi.
Segala peralatan telah aku siapkan di tas yang berukuran cukup besar. Tas gendong ini selalu aku pakai jika kuliah maupun bepergian jauh. Sama halnya dengan hari ini. Karena rencana hari ini aku ingin pergi berpetualang, maka tas ini harus menemaniku. Untuk kendaraan ? Motor Mio berwarna merah pun telah aku siapkan. Sebelum berangkat, aku menunggu seseorang terlebih dahulu.
“Gimana ka ? Udah siap belum ?”, sahutku kepada Eka.
“Udah kok. Helm juga udah di bawa ?”, ujar Eka.
Eka Sofiawati , mahasiswa Ilmu Komunikasi konsentrasi Public Relation, aku ajak pergi bersama. Sebagai sahabat dekat, kami sering jalan bersama. Dia rela mengorbankan waktunya untuk menemaniku berpetualang selama tiga hari. Petualangan ini merupakan tugas salah satu mata kuliah konsentrasi jurnalis yang aku ambil. Mata kuliahnya adalah produksi siaran radio. Kali ini tugas UAS yang diberikan ternyata cukup susah. Aku harus mengerjakan semaksimal mungkin jika ingin mendapatkan nilai yang bagus.
Siap dengan semuanya, aku lalu berpamitan kepada teman-temanku di kampus.  Saat itu pun teman-temanku bertanya mengenai kepergianku. Tiba-tiba berpamitan tanpa sebelumnya mengatakan. Aku jawab bahwa diriku ingin ke suatu tempat di kawasan Bantargebang. Mengerjakan tugas serta mencari pengalaman baru.
Bantargebang terkenal sebagai kawasan kumuh. Bagaimana tidak ? Sampah dari kota-kota besar dibuang ke tempat itu dan terlihat seperti pegunungan. Pegunungan sampah. Aku telah membayangkan bagaimana keadaanku sesampainya di sana. Aku tidak boleh menutup hidungku dengan masker untuk menghargai mereka, pikirku.
Perjalanan hampir sejam kami tempuh untuk sampai di satu tujuan pertama, yaitu Sekolah Alam. Sekolah Alam merupakan sebuah sekolah semi formal untuk mendidik anak-anak  kawasan Bantargebang. Mereka yang tak punya biaya untuk bersekolah ataupun yang ingin menimba ilmu secara lebih bisa bersekolah di sini. Banyak sponsor ataupun lembaga-lembaga yang membiayai sekolah ini hingga bisa menampung anak-anak Bantargebang. Sekolah tersebut terletak di kelurahan Sumur Batu dan dekat dengan pemukiman warga. Tempatnya yang luas dan ditumbuhi banyak pohon menjadikan sekolah itu menjadi teduh dan nyaman. Bahkan ada pula tempat untuk anak-anak beternak ayam ataupun kelinci.
Beberapa minggu yang lalu, aku sempat mengunjungi Sekolah Alam bersama teman-teman dari UKM Pusaka (Pusat Kajian Pancasila). Kami melihat kegiatan di sekolah tersebut bahkan sempat berbincang-bincang seputar keadaan anak-anak Bantargebang. Kali ini, hanya  aku dan Eka saja yang berkunjung kesana.  
Saat memasuki kawasan Bantargebang, bau menyengat sudah tercium. Papan selamat datang di kawasan TPA Bantargebang  dan bau menyengat menyambut kami. Satu persatu pegunungan sampah terus kami lewati. Setelah berjalan cukup jauh, kami meyadari sesuatu.
“Cil”, tanya Eka kepadaku dengan memakai nama panggilan.
“Ia ka, kenapa ?”, sahutku.
“Kayaknya kita salah jalan deh. Kemaren pas sama UKM gak lewat sini tau.”
“Ia ya, w juga lupa ka jalannya. Lw tau sendiri kan kalo w susah ngapalin jalan klo cuma sekali.”
Kelemahanku menghapal jalan mulai muncul. Tak pernah aku ingat jika baru pertama kali melewati sebuah jalan.
“Yaudah ka, nanya ama orang aja yuk, daripada tambah jauh kesasarnya,” ajakku.
“Tanya ama siapa ? Sepi banget ga ada orang. Muter balik aja cil. Di depan jalan tadi lumayan banyak orang.”
Akhirnya, kami berbalik arah ke tempat semula, dan bertanya jalan ke arah Sekolah Alam. Tapi banyak orang yang tidak tahu, bahkan memberi tahu kami untuk memutar balik, ke tempat kami kesasar. Jelas aku ragu dengan jawaban orang ini dan tidak mengikuti sarannya. Kami mencari orang yang bisa kami tanyai kembali. Untungnya ada seseorang yang tahu, dan memberi tahu kami jalannya.   
Menyusuri jalan berkelok –kelok dan jalan berbatu, terlihat kembali pegunungan sampah yang tak jauh dari jalanan. Jalan kecil yang kami lewati dikepung gubuk-gubuk kecil dan tumpukan karung sampah. Terlihat pula, orang-orang yang bekerja dengan pakaian kotor menarik gerobak besar yang berisi sampah. Menyedihkan, mengharukan dan tragis saat kulihat mereka bekerja dengan semangat.
Setelah pemandangan itu kulewati, sampailah kami di Sekolah Alam Tunas Mulia. Aku langsung menghubungi nomor Pak Nadam. Nadam Dwi Subekti merupakan pendiri  sekolah ini. Beberapa kali panggilanku tak dijawab. Kami terus menunggu di depan salah satu pendopo yang dijadikan ruang kelas.
Beberapa menit berlalu, akhirnya muncul juga orang yang kami tunggu-tunggu. Menaiki motor dan memakai jaket dengan rambut lurus serta hitam, kami tau bahwa itu Pak Nadam. Bersalaman lalu kami langsung diajak ke kantornya yang tak jauh di dekat pendopo-pendopo. Beliau cerita mengenai keprihatinannya terhadap anak-anak pemulung di sekitar Sumur Batu, Bantargebang, dan akhirnya mendirikan sekolah ini.
“ Awal didirikan Sekolah Alam Tunas Mulia ini, tahun 2006 pada tanggal 13 Oktober. Waktu itu memang saya melihat banyak anak-anak pemulung yang pindah sekolah ataupun putus sekolah, akhirnya saya mendirikan sekolah alam ini,” cerita Pak Nadam.
Memang ada perbedaan yang tampak dari ruang kelas dengan sekolah biasa. Ruang kelas di sekolah alam ini terbuka dan hanya seperti pendopo dan di sini siswanya berseragam bebas. Selain itu, karena sekolah alam ini adalah sekolah nonformal kurikulum yang dipakai adalah kurikulum kejar paket. Paket A untuk SD dan Paket B untuk SMP.
“Trus gimana pak, cara untuk menarik anak-anak untuk bersekolah di sini,” tanyaku penasaran.
“Awalnya memang anak-anak belum begitu tertarik ya untuk sekolah di sini, karena itu tadi mereka sebenernya masih seneng mulung. Tetapi setelah kita pendekatan kepada orang tuanya, dengan berbagai program-program yang menarik di sekolah alam sehingga mereka akhirnya mau bersekolah. Bahkan sekarang udah ada beberapa anak yang lulus sekolah alam ini, bisa melanjutkan ke SMK, bahkan sebagian mau kuliah, udah masuk kuliah, masuk perguruan tinggi,”jawabnya.
Bincang-bincang kami dengan Pak Nadam tidak terlalu singkat dan tidak juga terlalu lama. Waktu yang membatasi kami untuk segera menggali lebih dalam mengenai kehidupan pemulung yang ada di Kelurahan Sumur Batu ini. Kami berdua lalu diajak oleh Pak Nadam mengunjungi salah satu rumah pemulung yang tak jauh dari sekolah ini.
Memasuki TPA Kelurahan Sumur Batu, bau menyengat kembali menerkam kami. Pegunungan sampah terlihat lagi. Rumah-rumah pemulung terlihat di pinggir-pinggir jalan. Kumuh dan banyak lalat. Pak Nadam menghampiri salah satu rumah yang terletak berderet dengan rumah lain. Anak-anak yang bermain fokus melihat kami dan Pak Nadam. Seorang ibu muncul di balik pintu, saat Pak Nadam mengucap salam. Ibu tersebut bernama Odeh. Odeh merupakan salah satu pemulung di kawasan Bantargebang. Senyumnya tampak saat kami berkenalan dengannya. Ia menyambut kami dengan sedikit grogi.
Kami dipersilahkan duduk di bangku-bangku yang terletak persis di depan pintu rumahnya. Samping kiri kanan, ada sebuah kolam. Bukan kolam ikan melainkan kolam untuk mendaur ulang sampah tas plastik. Bau yang sangat tajam menusuk hidung kami. Tak bisa aku menutupinya untuk menghargai kehidupan para pemulung di sini. Aku tahan semua bau ini demi mendapatkan wawancara dengan Ibu Odeh. Sesungguhnya, Odeh bukanlah penduduk asli yang menetap dari kecil di kawasan tersebut. Ia  dan suami merupakan pendatang dari Karawang.
 “Pindah ke sini sejak kapan bu ?” ,tanyaku
“Tahun 2005”, jawab Odeh.
“Koq mau gtu loh bu mulung, kenapa bu ?”
“Ya abis kerja apa di kampung, gak ada kerjaan.Gak punya lahan pekerjaan, kaya orang orang lega. Disini kan ada, setiap hari ada.”
“Ini sekarang kan kerjanya mulung ya, ada gak bu keinginan gitu, maksudnya kerja yang lebih baik daripada mulung?”
“Ya ada sih, tapikan bapak cuman sekolah SD, gak bisa.”
Setiap subuh bersama sang suami, Madi, Odeh bergegas mengejar truk-truk sampah yang berdatangan. Truk berwarna orange yang membawa segala macam jenis sampah, seperti tas plastik, botol bekas minuman ringan, dan makanan sisa menjadi target utama. Odeh harus siap bersaing dengan pemulung lainnya untuk mendapatkan sampah-sampah tersebut. Penghasilan yang di dapat pun tak seberapa sekitar 150 ribu rupiah jika ia dan sang suami mampu mengumpulkan dua kuintal tas plastik. 
Saat berada di pegunungan sampah Bantargebang, dirinya tak malu untuk mengambil sampah dan berpakaian kotor. Demi menyekolahkan anak-anaknya dan memenuhi kebutuhan setiap hari, ia dan sang suami tak pernah mengenal lelah dalam bekerja. Walaupun usianya saat ini sudah 41 tahun, ia masih tangguh berperang melawan bau sampah dan terik matahari.
“Anaknya sering dikatain sama temen-temennya Bu, gimana perasaannya ?”
“Wajar, kalau dikatain mah, tapi Ibu gak pernah marah.”
Mendengar penjelasan dari Ibu Odeh, aku tertarik juga untuk mendengarkan kisah anaknya. Kedua anak Odeh sering membantu mereka dalam mencari sampah-sampah demi membantu penghasilan orang tuanya. Salah satu anak Ibu Odeh, Kosasih, bersekolah di Sekolah Alam Tunas Mulia dan juga sekolah reguler. Prestasi Kosasih cukup membanggakan orang tuanya. Ia selalu mendapat peringkat di kelas. Walaupun kedua orang tuanya bekerja sebagai pemulung, Kosasih tak malu.
“Ikut mulung juga?”, tanyaku.
“ Sering”, jawabnya singkat.
“Sama siapa ?”
“Sama Bapak sama Ibu.”
“Boleh apa ikut sendiri ?”
“Ikut sendiri.”
“Enakan mana sekolah biasa apa di sekolah alam.”
“Dua-duanya”, jawabnya dengan ragu.
“Kenapa ? Kok dua-duanya? Gak ada salah satunya gitu? ”
“Ada.”
“Bedanya apa ?”
“Kalau di sekolah alam pada baik, kalau di sekolah biasa ada yang suka ngatain Bapak.”
“Tapi Kosasih kesel gak dikatain gitu.”
“Gimana ya. Kesel gak kesel.”
Takdirnya sebagai anak dari seorang pemulung bukanlah dia yang memilih. Semua itu sudah ada jalannya masing-masing. Manusia hanya bisa merencanakan, dan Tuhan lah yang menentukan.
Setelah mendengarkan berbagai cerita tersebut, hati kami merasakan keprihatinan yang mendalam dengan apa yang dialami oleh mereka. Apakah masih ada yang perduli dan membantu mereka untuk mendapatkan hak pendidikannya. Pikiran ini sempat terlintas di benak saya.

Perjalanan ini kami kami akhiri dengan banyak sekali ilmu. Bersyukur dan berusaha lebih keras menjadi sebuah nasehat yang penting bagiku. Selesai menyusuri dan bertanya-tanya mengenai kehidupan pemulung, kami harus beristirahat karena hari sudah mulai petang. Aku dan Eka sudah berencana untuk menginap di salah satu teman kami. Rumah teman kami tak jauh dari kawasan ini. Ia tinggal di daerah Setu. Akhirnya kami diantar oleh Pak Nadam di ujung perbatasan jalan. Sesampainya di rumah teman kami, aku langsung merebahkan diri untuk menghilangkan rasa lelah. 

Komentar