Terik
matahari terasa panas dan merayapi kulitku. Kaos panjang, cardigan panjang ,
celana panjang, bahkan kerudung coklat telah menutupi semua badanku. Hanya
wajah dan telapak tangan yang terlihat saat panas ini menyengat. Bahkan kebiasaanku
menggunakan kaus kaki nyatanya tak cukup
melindungi rasa matahari yang masih menggerayangi.
Segala
peralatan telah aku siapkan di tas yang berukuran cukup besar. Tas gendong ini
selalu aku pakai jika kuliah maupun bepergian jauh. Sama halnya dengan hari
ini. Karena rencana hari ini aku ingin pergi berpetualang, maka tas ini harus
menemaniku. Untuk kendaraan ? Motor Mio berwarna merah pun telah aku siapkan. Sebelum
berangkat, aku menunggu seseorang terlebih dahulu.
“Gimana
ka ? Udah siap belum ?”, sahutku kepada Eka.
“Udah
kok. Helm juga udah di bawa ?”, ujar Eka.
Eka
Sofiawati , mahasiswa Ilmu Komunikasi konsentrasi Public Relation, aku ajak
pergi bersama. Sebagai sahabat dekat, kami sering jalan bersama. Dia rela
mengorbankan waktunya untuk menemaniku berpetualang selama tiga hari. Petualangan
ini merupakan tugas salah satu mata kuliah konsentrasi jurnalis yang aku ambil.
Mata kuliahnya adalah produksi siaran radio. Kali ini tugas UAS yang diberikan
ternyata cukup susah. Aku harus mengerjakan semaksimal mungkin jika ingin
mendapatkan nilai yang bagus.
Siap
dengan semuanya, aku lalu berpamitan kepada teman-temanku di kampus. Saat itu pun teman-temanku bertanya mengenai
kepergianku. Tiba-tiba berpamitan tanpa sebelumnya mengatakan. Aku jawab bahwa
diriku ingin ke suatu tempat di kawasan Bantargebang. Mengerjakan tugas serta
mencari pengalaman baru.
Bantargebang
terkenal sebagai kawasan kumuh. Bagaimana tidak ? Sampah dari kota-kota besar
dibuang ke tempat itu dan terlihat seperti pegunungan. Pegunungan sampah. Aku
telah membayangkan bagaimana keadaanku sesampainya di sana. Aku tidak boleh
menutup hidungku dengan masker untuk menghargai mereka, pikirku.
Perjalanan
hampir sejam kami tempuh untuk sampai di satu tujuan pertama, yaitu Sekolah
Alam. Sekolah Alam merupakan sebuah sekolah semi formal untuk mendidik
anak-anak kawasan Bantargebang. Mereka
yang tak punya biaya untuk bersekolah ataupun yang ingin menimba ilmu secara
lebih bisa bersekolah di sini. Banyak sponsor ataupun lembaga-lembaga yang
membiayai sekolah ini hingga bisa menampung anak-anak Bantargebang. Sekolah
tersebut terletak di kelurahan Sumur Batu dan dekat dengan pemukiman warga.
Tempatnya yang luas dan ditumbuhi banyak pohon menjadikan sekolah itu menjadi
teduh dan nyaman. Bahkan ada pula tempat untuk anak-anak beternak ayam ataupun
kelinci.
Beberapa
minggu yang lalu, aku sempat mengunjungi Sekolah Alam bersama teman-teman dari
UKM Pusaka (Pusat Kajian Pancasila). Kami melihat kegiatan di sekolah tersebut
bahkan sempat berbincang-bincang seputar keadaan anak-anak Bantargebang. Kali
ini, hanya aku dan Eka saja yang
berkunjung kesana.
Saat
memasuki kawasan Bantargebang, bau menyengat sudah tercium. Papan selamat
datang di kawasan TPA Bantargebang dan
bau menyengat menyambut kami. Satu persatu pegunungan sampah terus kami lewati.
Setelah berjalan cukup jauh, kami meyadari sesuatu.
“Cil”,
tanya Eka kepadaku dengan memakai nama panggilan.
“Ia
ka, kenapa ?”, sahutku.
“Kayaknya
kita salah jalan deh. Kemaren pas sama UKM gak lewat sini tau.”
“Ia
ya, w juga lupa ka jalannya. Lw tau sendiri kan kalo w susah ngapalin jalan klo
cuma sekali.”
Kelemahanku
menghapal jalan mulai muncul. Tak pernah aku ingat jika baru pertama kali
melewati sebuah jalan.
“Yaudah
ka, nanya ama orang aja yuk, daripada tambah jauh kesasarnya,” ajakku.
“Tanya
ama siapa ? Sepi banget ga ada orang. Muter balik aja cil. Di depan jalan tadi
lumayan banyak orang.”
Akhirnya,
kami berbalik arah ke tempat semula, dan bertanya jalan ke arah Sekolah Alam.
Tapi banyak orang yang tidak tahu, bahkan memberi tahu kami untuk memutar
balik, ke tempat kami kesasar. Jelas aku ragu dengan jawaban orang ini dan
tidak mengikuti sarannya. Kami mencari orang yang bisa kami tanyai kembali. Untungnya
ada seseorang yang tahu, dan memberi tahu kami jalannya.
Menyusuri
jalan berkelok –kelok dan jalan berbatu, terlihat kembali pegunungan sampah yang
tak jauh dari jalanan. Jalan kecil yang kami lewati dikepung gubuk-gubuk kecil
dan tumpukan karung sampah. Terlihat pula, orang-orang yang bekerja dengan
pakaian kotor menarik gerobak besar yang berisi sampah. Menyedihkan,
mengharukan dan tragis saat kulihat mereka bekerja dengan semangat.
Setelah
pemandangan itu kulewati, sampailah kami di Sekolah Alam Tunas Mulia. Aku
langsung menghubungi nomor Pak Nadam. Nadam Dwi Subekti merupakan pendiri sekolah ini. Beberapa kali panggilanku tak
dijawab. Kami terus menunggu di depan salah satu pendopo yang dijadikan ruang
kelas.
Beberapa
menit berlalu, akhirnya muncul juga orang yang kami tunggu-tunggu. Menaiki
motor dan memakai jaket dengan rambut lurus serta hitam, kami tau bahwa itu Pak
Nadam. Bersalaman lalu kami langsung diajak ke kantornya yang tak jauh di dekat
pendopo-pendopo. Beliau cerita mengenai keprihatinannya terhadap anak-anak
pemulung di sekitar Sumur Batu, Bantargebang, dan akhirnya mendirikan sekolah
ini.
“ Awal didirikan Sekolah Alam Tunas Mulia ini, tahun
2006 pada tanggal 13 Oktober. Waktu itu memang saya melihat banyak anak-anak
pemulung yang pindah sekolah ataupun putus sekolah, akhirnya saya mendirikan
sekolah alam ini,” cerita Pak Nadam.
Memang ada perbedaan yang tampak dari ruang kelas
dengan sekolah biasa. Ruang kelas di sekolah alam ini terbuka dan hanya seperti
pendopo dan di sini siswanya berseragam bebas. Selain itu, karena sekolah alam
ini adalah sekolah nonformal kurikulum yang dipakai adalah kurikulum kejar
paket. Paket A untuk SD dan Paket B untuk SMP.
“Trus gimana pak, cara untuk menarik anak-anak untuk
bersekolah di sini,” tanyaku penasaran.
“Awalnya memang anak-anak belum begitu tertarik ya
untuk sekolah di sini, karena itu tadi mereka sebenernya masih seneng mulung.
Tetapi setelah kita pendekatan kepada orang tuanya, dengan berbagai
program-program yang menarik di sekolah alam sehingga mereka akhirnya mau
bersekolah. Bahkan sekarang udah ada beberapa anak yang lulus sekolah alam ini,
bisa melanjutkan ke SMK, bahkan sebagian mau kuliah, udah masuk kuliah, masuk
perguruan tinggi,”jawabnya.
Bincang-bincang kami dengan Pak Nadam tidak terlalu
singkat dan tidak juga terlalu lama. Waktu yang membatasi kami untuk segera
menggali lebih dalam mengenai kehidupan pemulung yang ada di Kelurahan Sumur
Batu ini. Kami berdua lalu diajak oleh Pak Nadam mengunjungi salah satu rumah
pemulung yang tak jauh dari sekolah ini.
Memasuki TPA Kelurahan Sumur Batu, bau menyengat
kembali menerkam kami. Pegunungan sampah terlihat lagi. Rumah-rumah pemulung
terlihat di pinggir-pinggir jalan. Kumuh dan banyak lalat. Pak Nadam
menghampiri salah satu rumah yang terletak berderet dengan rumah lain. Anak-anak
yang bermain fokus melihat kami dan Pak Nadam. Seorang ibu muncul di balik
pintu, saat Pak Nadam mengucap salam. Ibu tersebut bernama Odeh. Odeh merupakan
salah satu pemulung di kawasan Bantargebang. Senyumnya tampak saat kami
berkenalan dengannya. Ia menyambut kami dengan sedikit grogi.
Kami dipersilahkan duduk di bangku-bangku yang
terletak persis di depan pintu rumahnya. Samping kiri kanan, ada sebuah kolam.
Bukan kolam ikan melainkan kolam untuk mendaur ulang sampah tas plastik. Bau
yang sangat tajam menusuk hidung kami. Tak bisa aku menutupinya untuk
menghargai kehidupan para pemulung di sini. Aku tahan semua bau ini demi
mendapatkan wawancara dengan Ibu Odeh. Sesungguhnya, Odeh bukanlah penduduk
asli yang menetap dari kecil di kawasan tersebut. Ia dan suami merupakan pendatang dari Karawang.
“Pindah ke
sini sejak kapan bu ?” ,tanyaku
“Tahun 2005”, jawab Odeh.
“Koq mau gtu loh bu mulung, kenapa bu ?”
“Ya abis kerja apa di kampung, gak ada kerjaan.Gak
punya lahan pekerjaan, kaya orang orang lega. Disini kan ada, setiap hari ada.”
“Ini sekarang kan kerjanya mulung ya, ada gak bu
keinginan gitu, maksudnya kerja yang lebih baik daripada mulung?”
“Ya ada sih, tapikan bapak cuman sekolah SD, gak
bisa.”
Setiap subuh bersama sang suami, Madi, Odeh bergegas
mengejar truk-truk sampah yang berdatangan. Truk berwarna orange yang membawa segala macam jenis sampah, seperti tas plastik,
botol bekas minuman ringan, dan makanan sisa menjadi target utama. Odeh harus
siap bersaing dengan pemulung lainnya untuk mendapatkan sampah-sampah tersebut.
Penghasilan yang di dapat pun tak seberapa sekitar 150 ribu rupiah jika ia dan
sang suami mampu mengumpulkan dua kuintal tas plastik.
Saat berada di pegunungan sampah Bantargebang,
dirinya tak malu untuk mengambil sampah dan berpakaian kotor. Demi
menyekolahkan anak-anaknya dan memenuhi kebutuhan setiap hari, ia dan sang
suami tak pernah mengenal lelah dalam bekerja. Walaupun usianya saat ini sudah
41 tahun, ia masih tangguh berperang melawan bau sampah dan terik matahari.
“Anaknya sering dikatain sama temen-temennya Bu, gimana
perasaannya ?”
“Wajar, kalau dikatain mah, tapi Ibu gak pernah
marah.”
Mendengar penjelasan dari Ibu Odeh, aku tertarik
juga untuk mendengarkan kisah anaknya. Kedua anak Odeh sering membantu mereka
dalam mencari sampah-sampah demi membantu penghasilan orang tuanya. Salah satu
anak Ibu Odeh, Kosasih, bersekolah di Sekolah Alam Tunas Mulia dan juga sekolah
reguler. Prestasi Kosasih cukup membanggakan orang tuanya. Ia selalu mendapat
peringkat di kelas. Walaupun kedua orang tuanya bekerja sebagai pemulung,
Kosasih tak malu.
“Ikut mulung juga?”, tanyaku.
“ Sering”, jawabnya singkat.
“Sama siapa ?”
“Sama Bapak sama Ibu.”
“Boleh apa ikut sendiri ?”
“Ikut sendiri.”
“Enakan mana sekolah biasa apa di sekolah alam.”
“Dua-duanya”, jawabnya dengan ragu.
“Kenapa ? Kok dua-duanya? Gak ada salah satunya
gitu? ”
“Ada.”
“Bedanya apa ?”
“Kalau di sekolah alam pada baik, kalau di sekolah
biasa ada yang suka ngatain Bapak.”
“Tapi Kosasih kesel gak dikatain gitu.”
“Gimana ya. Kesel gak kesel.”
Takdirnya sebagai anak dari seorang pemulung bukanlah
dia yang memilih. Semua itu sudah ada jalannya masing-masing. Manusia hanya
bisa merencanakan, dan Tuhan lah yang menentukan.
Setelah mendengarkan berbagai cerita tersebut, hati
kami merasakan keprihatinan yang mendalam dengan apa yang dialami oleh mereka.
Apakah masih ada yang perduli dan membantu mereka untuk mendapatkan hak
pendidikannya. Pikiran ini sempat terlintas di benak saya.
Perjalanan ini kami kami akhiri dengan banyak sekali
ilmu. Bersyukur dan berusaha lebih keras menjadi sebuah nasehat yang penting
bagiku. Selesai menyusuri dan bertanya-tanya mengenai kehidupan pemulung, kami
harus beristirahat karena hari sudah mulai petang. Aku dan Eka sudah berencana
untuk menginap di salah satu teman kami. Rumah teman kami tak jauh dari kawasan
ini. Ia tinggal di daerah Setu. Akhirnya kami diantar oleh Pak Nadam di ujung
perbatasan jalan. Sesampainya di rumah teman kami, aku langsung merebahkan diri
untuk menghilangkan rasa lelah.
Komentar
Posting Komentar