KISAH KELUARGAKU


Ada setiap kenangan cerita yang hadir di dalam sebuah keluarga. Keluarga kecil ini hanya terdiri dari lima anggota keluarga. Sebelumnya akanku perkenalkan. Keluarga yang dimaksud adalah keluargaku sendiri. Hanya ada Ayah, Ibu, dan tiga anak perempuan. Aku merupakan anak kedua. Saat ini, saya berumur 21 tahun. Mempunyai badan yang berukuran sedikit pendek, berkulit coklat serta mempunyai mata yang besar.

Ayahku bernama Sutikno. Biasanya sering dipanggil Pak Sodik. Entah darimana panggilan itu, katanya sih sejak dulu, saat ayah merantau ke Bekasi. Ayahku berkulit coklat kehitaman, tinggi, gemuk dan mempunyai kumis yang sedikit tebal. Sedangkan Ibuku bernama Sri Wahyuni. Ibuku sedikit pendek dengan wajah yang cantik serta berkulit putih. Rambutnya keriting karena dulu kakekku juga berambut keriting.

Kakakku bernama Yunita Ningsih yang hanya berbeda umur satu setengah tahun dengan saya. Dia tidak cukup tinggi, berkulit putih serta mempunyai beberapa tai lalat di wajahnya, namun dia pintar dan sangat dewasa. Adikku yang juga anak bungsu di keluarga merupakan anak yang paling lincah diantara kakak-kakaknya. Dia bernama Nisrina Zanirah.

Nama yang sangat bagus saat aku memberi nama itu. Dahulu saat dirinya baru saja lahir, hanya ayah dan aku yang berdiskusi untuk memberikan nama.

“Dek”, panggil ayah kepadaku.

“Cariin nama buat adikmu. Pilih nama dari buku ini ya !, yang bagus. Nanti kalau udah ketemu kasih tau bapak apa artinya”, perintah ayahku saat dirinya menyodorkan sebuah buku yang berisi nama-nama Islam.
Ingat sekali, saat itu ada dua buku yang dikasih ayah, yang satu berwarna hijau dan satu lagi berwarna putih. 

Beberapa hari aku terus mencari nama-nama yang cocok serta indah artinya.

“Ini pak, yang bagus ada dua. Coba dipilih yang mana yang bagus. Najwa Haifa atau Nisrina Zanirah.”
Saya sengaja memilih nama yang huruf alphabetnya berada di tengah agar saat ujian ataupun sedang ulangan, adik saya tidak duduk di depan ataupun di belakang.

Kemudian ayah menanyakan apa saja arti-arti nama yang kupilih.

“ Yang Najwa Haifa itu bisikan perempuan yang langsing pak. Gak nyambung sih pak artinya, tapi bagus. Kalau yang Nisrina Zanirah itu bunga mawar putih yang kecil dan lembut." Saya tidak yakin dengan arti nama yang pertama. Nama itu sangat cocok walaupun arti berbeda jauh, pikirku. Haha.

Terlihat raut wajah ayahku yang sedikit bimbang memilih nama diantara dua nama tersebut. Sambil duduk  dengam menyilangkan kaki, ayahku mencoba berpikir.

“Kayaknya bagusan yang ini deh, yang Nisrina Zanirah. Ya! Yang ini aja,” kata ayahku saat aku sedang menonton TV karena lama menunggu jawaban ayah.

Owh, yaudah. Terserah bapak,” jawabku dengan santainya.  

Aku sangat tertarik untuk bercerita mengenai adik perempuanku. Dia saat ini berumur delapan tahun. Lahir di bulan November 2005. Di kala itu aku masih duduk di bangku SMP kelas satu. Aku sangat antusias dengan kelahiran adikku, namun saat ini antusias memiliki adik bisa dibilang sudah lenyap. Hal itu disebabkan oleh berbagai alasan.

Rina panggilannya. Badannya cukup tinggi untuk seukuran anak SD, berkulit putih, rambutnya ikal namun sedikit pirang. Bisa dibilang pintar, tapi terkadang tidak, serta perangainya sangat berani.  
Suatu hari saat dia masih kecil, aku dan kakakku dilarang memanggil bapak dan mama. Katanya panggilan tersebut jelek.

“Mbak-mbak jangan panggil bapak sama mama akh. Ganti jadi panggil Ayah sama Ibu,” kata Rina.

Loh kenapa ? Kan dari dulu mbak-mbak manggilnya udah kaya gitu,” jawabku sambil keheranan karena tiba-tiba pertanyaan itu dilontarkan oleh anak kecil.

“Jangan itu. Pokoknya titik Ayah sama Ibu. Temen-temenku aja manggilnya pada kaya gitu.”

Ternyata baru kusadari, pergaulannya yang membuat dia menjadi seperti itu.
Dan akhirnya, kami berdua (aku dan kakakku) dipaksa menyerah oleh Ibu.

Saat dia mulai menginjak bangku SD, dia bertanya lagi pada Ibu.

“Bu, aku sebenernya cewek apa cowok.”

Glek, diriku seperti menelan sesuatu yang ada dimulut. Kaget. Bingung. Hal ini pun dirasakan oleh Ibu dan kakakku yang berada di ruangan yang sama.

Ibu menjawab. “Emang gimana ?”

Gak tau. Cewek kali ya bu,” jawab Rina dengan bimbang dan ekspresinya sedikit blank.

“Ya emang cewek bukan cowok.” Ibu melanjutkan.

Aku dan kakakku hanya tertawa lepas. Kami tidak sempat berkomentar karena tiba-tiba aneh saja, dirinya bisa bertanya seperti itu.

Seumur-umur, aku pun tidak pernah bertanya hal semacam itu. Pertanyaan yang menurutku bisa disadari nantinya setelah wawasan yang didapatkan tanpa sadar.

Saat ini, Rina sudah menginjak kelas tiga SD. Peraturan belajar terus ditetapkan oleh Ibu, agar anak-anaknya tidak lupa untuk mengerti betapa pentingnya pendidikan.

Waktu aku SD pun, peraturan belajar itu berlaku. Tidak boleh bermain kalau belum selesai mengerjakan PR (pekerjaan rumah). Harus ditaati, apalagi kami (anak-anaknya) sangat takut kalau ibu marah-marah. Bahkan terkadang pikiran bahwa ibu perangainya sama dengan tokoh kartun Sanae (ibu Shinchan) pernah terlintas olehku dan kakakku.

Namun, seiring perubahan zaman. Peraturan itu sedikit berubah. Jika mampu mendapatkan peringkat tiga besar, maka akan diberi hadiah oleh ayah dan ibu.

Rina yang sekarang menjalani dua sekolah, yaitu sekolah biasa saat pagi dan sekolah madrasah saat sore harus ekstra. Ekstra belajar serta ekstra tenaga. Hal ini dilakukan agar ilmunya seimbang. Semenjak ayahku mendalami ilmu agama Islam, keseimbangan antara pengetahuan dunia dan akhirat  diterapkan kepada Rina. Bahkan jika perlu, Rina akan dimasukkan ke sekolah pesantren. Seperti kebanyakan anak lainnya, dia menolak. Mungkin karena alasannya nanti akan terpisah sama orang tua dan tidak bebas, sehingga ia tidak mau.


--------------bersambung-------------

Komentar