Oleh :
Eva Erviana
Korupsi.
Kata-kata itu menjadi hal yang wajar didengar oleh sebagian besar masyarakat di
Indonesia. Tak ada yang tidak mengenalnya. Bahkan saat ini sudah membudaya di
Indonesia. Tak adakah budaya yang patut untuk ditiru selain korupsi ?
Pertanyaan itu sempat terlintas karena banyak bahkan hampir seluruhnya warga
negara Indonesia khususnya para wakil rakyat terlena dengan budaya tersebut.
Kondisi
yang terbalik serta kesenjangan yang sangat jauh apabila membandingkan budaya
khas dengan budaya korupsi. Tarian, makanan, kerajinan tangan bahkan budaya
sopan santun ala Timur sekarang mulai luntur. Banyak masyarakat yang
individualis saat ini. Entah pengaruh dari dalam diri ataupun faktor
globalisasi yang menjadikan mereka melupakan budaya yang seharusnya dijaga.
Seharusnya itulah budaya yang wajib dipelihara dan dijaga secara maksimal bukan
budaya korupsi.
Namun,
zaman sekarang budaya korupsi paling digemari. Lihat saja banyak yang
berlomba-lomba ingin mengikuti jejak para koruptor. Mereka seakan tidak takut
dengan hukum yang akan menimpanya. Bahkan menjadi hal yang lumrah karena hukum
di Indonesia juga layaknya pisau, tumpul di atas dan tajam dibawah. Sehingga
tak mengherankan koruptor semakin bertambah.
Awalnya
kepentingan hingga motivasi memperkaya diri sebagai latar belakang mengapa
budaya kotor ini marak ditiru di Indonesia. Bukan kepentingan umum melainkan
kepentingan pribadi yang diusung, tentunya yang melahirkan keuntungan besar.
Selain itu, tak ada orang yang mau hidup
menjadi miskin apalagi soal harta. Inilah mengapa kedua alasan tersebut membuat
mereka yang secara sadar melakukan praktek korupsi tersebut.
Ternyata,
dahulu saat zaman kerajaan sudah terjadi praktek-praktek korupsi. Kehancuran kerajaan
kuno semacam Majapahit, Mataram, Demak, Banten dan Singosari memberikan semacam
nasehat. Tak pernah ada hasil yang baik apabila niatnya buruk. Ini nyata
terjadi karena faktor utama kerajaan-kerajaan tersebut hancur karena konflik
kekuasaan yang diiringi dengan motif memperkaya diri.
Bahkan
saat Indonesia dijajah oleh kolonial Belanda, budaya korupsi semakin kuat.
Mereka yang menjajah mengkonstruksi korupsi secara besar-besaran. 350 tahun
bukanlah waktu yang singkat. Masyarakat banyak yang menderita sejak zaman itu. Hasil
bumi dirampas secara paksa. Mereka warga pribumi juga ikut dijadikan tameng
bahkan pengkhianat, yang kemudian bekerja di bawah kendali para penjajah. Di
daerah lokal mereka disebar sebagai lurah, bupati maupun pejabat untuk
mengawasi pekerja dan menjaga daerah kekuasaan kolonial Belanda. Hal itu
bukannya membawa dampak positif kepada masyarakat umum namun kebalikannya.
Sekarang
yang sudah memasuki zaman modern tak serta merta korupsi menghilang. Budaya
yang dikembangkan oleh para penjajah masih terus berkembang di Indonesia.
Kata-kata bahwa negara kita bebas dari belenggu penjajah hanya omong kosong. Nyatanya praktek kotor
masih terbangun. Bahkan lebih parah lagi karena ditambah dengan kolusi serta
nepotisme. Warisan yang sangat tidak diharapkan datang.
Apalagi
sekarang bukan hanya pengusaha maupun pejabat saja yang melakukan korupsi.
Pihak-pihak yang masuk ke dalam struktur hukum ikut terlibat dalam praktek
kotor ini. Kepolisian, kejaksaan bahkan pengadilan ikut dihinggapi kasus-kasus
korupsi. Sebetulnya ini yang menjadikan negara kita semakin rusak. Siapa lagi
yang seharusnya kita percaya untuk mengatasi hukum kepada koruptor ?
Ada
seorang pengamat hukum dan kelembagaannya di negara-negara berkembang bernama
Daniel Kaufmann. Dirinya mengadakan survei mengenai penyuapan pada birokrasi
dan lembaga pengadilan. Dan hasil surveinya sungguh mencengangkan. Ternyata
penyuapan yang terjadi di sistem peradilan Indonesia memegang suara tertinggi
dibandingkan dengan negara berkembang yang lain. Beberapa negara yang terkenal
atas kekuasaan agen dan mafia narkotika seperti Venezuela, Kolombia maupun
bekas negara yang berideologikan komunis, Ukraina dan Rusia masih kalah jika
dibandingkan dengan Indonesia.
Tahapan peradilan kini sudah terjamah oleh korupsi. Belum lama bukti tersebut terkuak dari kasus korupsi yang menimpa Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Muchtar. Dirinya tertangkap tangan atas dugaan menerima uanag sekitar tiga miliar rupiah yang berbentuk dolar Singapura dari seorang anggota DPR (inisial CHN), terkait kasus sengketa pemilukada di Kabupaten Gunung Mas, Kalteng (sumber : rri.co.id). Sungguh hal yang sangat disayangkan, padahal MK merupakan lembaga tertinggi yang mengatur hukum di negara Indonesia.
Hal
yang sama juga terjadi di dalam kepolisian. Beberapa bulan yang lalu seorang
Irjen Polri tertangkap KPK. Djoko Susilo yang ternyata lulusan Akpol tahun 1984
ini menjadi tersangka kasus korupsi simulator SIM. Jabatan tinggi dan upah kerja yang terbilang
cukup tidak memuaskan dirinya sehingga masih melakukan praktek tersebut. Memang
benar bahwa manusia tidak akan pernah puas, begitupula yang dialami oleh Djoko.
Kewajiban
seorang polisi yang seharusnya mengayomi, memberi perlindungan serta melayani
masyarakat ternyata masih omongan belaka. Hal itulah yang akan terasa jika
langsung menghadapi polisi-polisi. Dalam setiap kasus, polisi akan memberikan
sebuah model transaksi agar tidak melewati pengadilan sehingga kasus tersebut
selesai ditempat. Perilaku seperti inilah yang membuat paradigma masyarakat menjadi
buruk kepada image polisi. Sudah banyak masyarakat yang menganggap razia polisi
sebagai ajang untuk menambah upah harian mereka.
Dari berbagai realitas yang terjadi seakan mendorong sebagian masyarakat merasa kecewa bahkan hilang harapannya kepada para penegak hukum. Salah satu bentuk kekecewaan tersebut mereka tuangkan saat pemilu berlangsung. Banyak masyarakat yang memilih untuk golput (golongan putih) karena takut dengan hasilnya. Jika terpilih seorang pemimpin yang menang berkat suaranya, maka dapatkah pemimpin yang mereka pilih tersebut bisa melaksanakan kewajibannya dengan baik ? Itulah pertanyaan yang terlintas oleh mereka yang memilih untuk golput.
Namun, beberapa masyarakat lain yang
menginginkan pemimpin terbaik pasti memilih untuk tidak golput. Buktinya banyak
yang perduli dengan masa depan negara ini. Sebelum semua masyarakat tidak
percaya terhadap para calon pemimpin sebaiknya mulai sekarang perbaiki sistem
hukum yang ada. Kuatkan hukum secara maksimal agar para koruptor yang memakan
uang rakyat tidak bisa bergerak bebas dan menyesali perbuatannya.
Selain
itu, beri kekuatan maupun bantuan ekslusif dari pemerintah kepada
lembaga-lembaga quasi negara seperti KPK agar korupsi dapat diberantas. Kebanyakan
selama ini hanya tindakan-tindakan represif yang ditawarkan bagi pemberantasan
korupsi. Kemudian, pemerintah seharusnya bisa melakukan akselerasi antara
proses demokrasi dan pemberdayaan masyarakat. Dari sejak merdeka hingga
sekarang proses demokrasi yang berjalan kurang bertanggung jawab dan tidak
memperhatikan masyarakat. Maka dari itu dibutuhkan solusi tersebut agar dapat
seimbang dan membuahkan hasil yang baik.
Terakhir,
relasi antara agama masing-masing, hukum, dan negara akan membantu korupsi ini
dapat di tuntaskan sampai ke akar-akarnya. Agama Islam, Kristen, Hindu, Budha
maupun agama yang lain tidak pernah mengajarkan untuk berbuat buruk. Jika semua
masyarakat mengikuti semua yang telah diperintahkan sesuai dengan agamanya,
maka tidak ada yang berani untuk melakukan tindakan yang merugikan tersebut.
Hukum juga semakin terbantu dengan adanya kesadaran diri dari masing-masing masyarakat, dan dampaknya terhadap negara akan baik pula. Negara menjadi lebih makmur dan sejahtera, itu dimulai jika dalam diri masyarakat tertanam kesadaran. Kesadaran bahwa korupsi merupakan perbuatan yang buruk bahkan sangat buruk serta merugikan orang lain dan juga negara.
Komentar
Posting Komentar