KEBENCIANKU MENJADI TAKDIR HIDUPKU



Oleh : Eva Erviana

Semua orang tak terkecuali, pasti memiliki beberapa hal yang disukai maupun dibenci. Terkadang mereka yang membenci bisa sampai kesal, bahkan marah apabila hal tersebut harus dilakukan.  Sama halnya dengan yang dialami oleh Sarigokma Siregar, seorang wartawan senior sekaligus pemimpin redaksi dari harian Reaksi Nasional dan Bekasi. Gokma , panggilan akrab beliau, dahulu  sangat membenci profesi wartawan. 

Kebencian itu bermula dari kehidupan sang bibi yang bersuamikan seorang wartawan. Saat masih menduduki bangku SMA, dia sangat membenci suami bibinya dan berpendapat bahwa kehidupan adik dari ayahnya tersebut tidak bahagia. Namun, peristiwa yang tak terlupakan menghampiri kehidupannya saat dia sedang merantau ke ibukota. 

“Lulus SMA, saya datang ke sini, tak pernah terpikirkan menjadi seorang wartawan. Saya datang ke Jakarta ini mau menjadi penyanyi tadinya. Kesampaian jadi penyanyi, tapi penyanyi daerah. Album saya juga sudah banyak. Nah, sebelum saya jadi penyanyi saya terpaksa bekerja sebagai wartawan,” ungkap Gokma, mengingat perjalanan hidupnya. 

Peristiwa itu terjadi pada 1984. Saat tinggal bersama pamannya, ia bertemu dengan salah satu wartawan harian Sinar Pagi, sebuah Koran  dan menawari dirinya untuk bekerja menjadi seorang wartawan. Saat itu dia terdiam sejenak, tanpa tahu harus berbuat apa. Terdesak dengan kondisi yang sulit, akhirnya dia terpaksa menerima pekerjaan tersebut dan juga berbohong bahwa dirinya mampu. Keinginan menjadi seorang penyanyi pun juga harus ia kesampingkan.
  
Saat pertama kali diberikan surat dinas dan tugas meliput di pengadilan, dirinya merasa sangat bingung. Entah apa yang harus dilakukan saat itu, apalagi ia tidak mempunyai pengalaman sama sekali dibidang jurnalistik.
 
“Bengong aja saya di sana, saat pulang saya ditanya, kamu dapat apa. Bingung saya jawab apa, orang saya gak ngerti kan. Akhirnya saya jawab secara jujur, kalau saya bener-bener gak ngerti dan besoknya saya diajari dasar-dasar membuat berita,” tutur beliau meneruskan ceritanya. 

Setelah diberi penjelasan tersebut, beliau ditugaskan untuk meliput bidang hukum. Setiap hari, dirinya dihadapkan mesin tik untuk menulis sebuah berita. Selain itu, bolak balik pengadilan hal yang biasa dilakukan untuk mendapatkan sebuah bahan. Namun, berita yang susah payah dia buat selalu tak muncul di koran. Butuh beberapa kali perbaikan mengenai tulisannya hingga tempat sampah hampir penuh dengan gumpalan kertas yang sia-sia. 

Tak pantang menyerah,dia sering mengunjungi rumah wartawan yang mengenalkan profesi sebagai jurnalis. Dia meminta diajari agar paham menjadi seorang jurnalis. Bahkan sempat terpikir, bahwa dirinya sangat bodoh karena penjelasan yang diberikan tak masuk di otaknya. Sampai pada akhirnya ia mempunyai seorang istri, dirinya baru bisa merasakan ada perubahan yang membawanya menjadi lebih baik.

 “Saya benar-benar mau serius banget jadi wartawan setelah saya menikah saat umur 25 tahun. Otak saya masih ngambang itu tapi setelah saya punya istri,saya merasa ada beban bahwa saya harus bisa. Masa saya harus minta tolong sama orang lain terus,” ujar beliau. 

Tahun demi tahun dirinya bekerja dengan dibantu seorang istri, pengalaman menjadi wartawan pun semakin banyak. Berbagai media cetak pernah ia tangani, seperti koran Taruna Baru (koran lokal Medan), Majalah Aspek, Sangsaka, Intijaya, hingga sekarang dirinya bekerja di Reaksi Bekasi. Lulus SMA sampai dengan umur hampir 50 tahun, dia menganggap bahwa menjadi wartawan sudah menjadi takdir kehidupannya. Aneh memang menurutnya, karena dahulu beliau benci terhadap wartawan. Tetapi sekarang, ia sudah menjabat menjadi pemimpin redaksi karena kerja kerasnya sebagai seorang wartawan sebelumnya.

Komentar